PEMIKIRAN
FILSAFAT SEJARAH ZAMAN MODERN
MENURUT
ARNOLD J. TOYNBEE
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Sejarah
Dosen Pengampu Drs. Kayan Swastika. M.Si
Oleh:
Chafi Insanuar 130210302024
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan
Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah “Pemikiran Filsafat Sejarah Zaman
Modern menurut Arnold J. Toynbee“yang merupakan salah satu
dari komponen nilai tugas individu mata kuliah Filsafat Sejarah dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada
Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
jember.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Drs. Kayan Swastika.M.Si, selaku
Dosen pengampu mata kuliah Filsafat Sejarah
yang telah membimbing;
2.
Teman-teman yang telah memberi
dorongan dan semangat;
3.
Semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pembaca dan memberikan penjelasan tentang pemikiran filsafat sejarah zaman modern menurut Arnold J. Toynbee.
Makalah ini telah di susun semaksimal mungkin.
Untuk itu, saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan. Atas saran dan
kritiknya, penulis mengucapkan terima kasih.
Jember, 13 November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DARTAR ISI 3
BAB 1. PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan 4
BAB 2. PEMBAHASAN 5
2.1
Biografi Arnold J.
Toynbee 5
2.2
Konsepsi Filsafat
Sejarah 6
2.3
Pandangan Filsafat Sejarah Zaman Modern Menurut
Arnold J. Toynbee. 8
BAB 3. PENUTUP 13
Kesimpulan 13
Daftar Pustaka 14
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tokoh filsuf yang terkenal berasal dari Inggris yaitu Arnold
J. Toynbee. Ia adalah seorang sarjana Inggris yang dapat menggemparkan dunia
sejarah dengan karangannya yang berjudul “A Study of History” yang terdiri 12
jilid yang tebal. Buku karangannya tersebut diterbitkan pertama kali pada tahun
1933.
Dalam bukunya, Toynbee mengemukakan teorinya yang didasarkan
atas penelitiannya pada 21 kebudayaan yang sempurna dan 9 kebudayaan yang
kurang sempurna yang ada diseluruh dunia. Misalnya, kebudayaan yang sempurna
diantaranya Yunani, Roma, Maya (Amerika Tengah), Hindu, Barat (Eropa), Eropa Timur
dan sebagainya. Sedangkan yang tidak sempurna antara lain Eskimo, Sparta,
Polynesia, Turki dan sebagainya.
Berdasarkan teori yang disampaikan dalam buku-bukunya,
Arnold J. Toynbee memberi kesimpulan yaitu dalam gerak sejarah tidak terdapat
hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya
kebudayaan-kebudayaan dengan pasti (Tamburaka, 1999: 65). Dari
latar belakang di atas, maka penulis akan membahas bagaimana ‘’ pandangan
sejarah menurut Arnold J. Toynbee’’.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Arnold J. Toynbee?
2.
Bagaimana konsep sejarah menurut Arnold J.
Toynbee?
3.
Bagaimana pandangan filsafat sejarah pada zaman
modern menurut Arnold J.Toynbee?
1.3. Tujuan
1.
Mengetahui biografi Arnold J. Toynbee.
2.
Mengetahui konsep sejarah menurut Arnold J. Toynbee.
3.
Mengetahui pandangan filsafat sejarah pada
zaman modern menurut Arnold J. Toynbee.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Arnold J. Toynbee
Arnold
J. Toynbee lahir pada 14 April 1889 di London. Arnold Joseph Toynbee adalah
anak dari Henry Valpy Toynbee, seorang pengimpor teh yang beralih menjadi
pekerja sosial, dan Sarah Edith Marshall, sarjana unofficial di bidang sejarah
dari Universitas Cambridge. Semasa kecil, Toynbee dididik oleh ibunya dan
seorang guru privat perempuan. Kemudian dia meneruskan ke Wotton Court di Kent
dan Winchester College. Dia cemerlang dalam studinya, dan mendapatkan beasiswa
untuk disiplin sastra Yunani dan Romawi Kuno ke Balliol College, Oxford. Ketika
menggeluti sastra Yunani dan Romawi kuno.
Toynbee merupakan penulis besar, menghasilkan karya yang tidak terhitung jumlahnya tentang agama, sejarah kuno dan modern, peristiwa kontemporer, dan hakekat sejarah. Setelah menamatkan studinya pada tahun 1912, Toynbee menjelajahi situs-situs sejarah di Yunani dan Itali. Ia mempunyai harapan mampu membantu murid-muridnya 'mengenal keragaman kehidupan dan peradaban', tak seorang pun dari mereka mampu memenuhi harapan sang guru. Dia kemudian mengalihkan energinya untuk melakukan sesuatu yang kemudian menjadi pekerjaan seumur hidupnya : menulis. Toynbee mulai menulis sebuah buku tentang sejarah Yunani dari masa prasejarah sampai masa Bizantium, namun sebelum buku tersebut selesai dia terganggu oleh peristiwa yang terjadi di masanya, seperti Perang Balkan pada 1912 dan 1913. Ia juga pernah ditugasi oleh British (kini Royal) Institute for International Affairs untuk menulis sebuah buku hasil riset lama dan mendalam tentang paeristiwa-peristiwa penting yang terjadi sejak Perjanjian Versailles. Buku tersebut, Surveys of International Affairs 1920-1923 (1925), menjadi buku hasil survey mendalam pertama yang dia hasilkan sampai dia pensiun pada tahun 1953. Tiap tahun, Toynbee berusaha mengabadikan banyak informasi (kebanyakan dari sura kabar) lewat catatan-catatan tentang peristiwa kontemporer di seluruh dunia.
Toynbee merupakan penulis besar, menghasilkan karya yang tidak terhitung jumlahnya tentang agama, sejarah kuno dan modern, peristiwa kontemporer, dan hakekat sejarah. Setelah menamatkan studinya pada tahun 1912, Toynbee menjelajahi situs-situs sejarah di Yunani dan Itali. Ia mempunyai harapan mampu membantu murid-muridnya 'mengenal keragaman kehidupan dan peradaban', tak seorang pun dari mereka mampu memenuhi harapan sang guru. Dia kemudian mengalihkan energinya untuk melakukan sesuatu yang kemudian menjadi pekerjaan seumur hidupnya : menulis. Toynbee mulai menulis sebuah buku tentang sejarah Yunani dari masa prasejarah sampai masa Bizantium, namun sebelum buku tersebut selesai dia terganggu oleh peristiwa yang terjadi di masanya, seperti Perang Balkan pada 1912 dan 1913. Ia juga pernah ditugasi oleh British (kini Royal) Institute for International Affairs untuk menulis sebuah buku hasil riset lama dan mendalam tentang paeristiwa-peristiwa penting yang terjadi sejak Perjanjian Versailles. Buku tersebut, Surveys of International Affairs 1920-1923 (1925), menjadi buku hasil survey mendalam pertama yang dia hasilkan sampai dia pensiun pada tahun 1953. Tiap tahun, Toynbee berusaha mengabadikan banyak informasi (kebanyakan dari sura kabar) lewat catatan-catatan tentang peristiwa kontemporer di seluruh dunia.
Dia
juga mulai mengumpulkan bahan-bahan buat karyanya yang kemudian terkenal: A
Study of History (12 Jilid, 1934-1961). Keilmuan sejarah kontemporer,
menurut Toynbee, kurang sempurna sebab para sejarawan Eropasentris, meniru
saintis, dan melakukan riset tentang topik-topik kecil yang sepele. Menurut
Toynbee, yang gagal mereka mengerti adalah bahwa alam semesta menjadi bisa
dipahami sejauh kia memahaminya sebagai sebuah kesatuan. Dalam semangat itu,
Toynbee bermaksud mempelajari seluruh peradaban yang dikenal, yang masih ada
maupun yang sudah punah. Dalam sejumlah besar detail sejarah, menurutnya,
sebuah pola bisa diungkap dan diketahui.
2.2. Konsepsi
Filsafat Sejarah
Toynbee
mengemukakan konsepsi kontemporer terbaru tentang ide daur-daur kultural. Ia
selalu berupaya menghindari kekeliruan yang dilakukan Spengler dalam
kecenderungan filosofis dan puitisnya yang menyerupakan kebudayaan dengan
mahluk hidup yang berakibat timbulnya kesimpulan deterministis yang menyertai
tegaknya kebudayaan dan keruntuhannya sesuai dengan hukum kehidupan dan
kematian dalam alam fisik. Kehati-hatian Toynbee itu tampak nyata dalam
perhatiannya atas perincian sejarah yang teliti dan penghindarannya dari
kontemplasi metafisis yang kabur dan hukum-hukum puisi individual yang begitu mewarnai
karya Spengler. Demikian pula, tampak jelas betapa Toynbee dalam pembuktian
historis dan penerimaannya yang sungguh-sungguh atas pengkajian berbagai
kebudayaan selalu berusaha memakai metode eksperimental yang didasarkan pada
pengamatan guna mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tumbuh dan runtuhnya
kebudayaan.
Metode
ini merefleksikan aliran eksperimental yang terkenal dalam filsafat Inggris
modern pada umumnya. Di antara hasil kajian ini adalah sejumlah karya dalam
sejarah kebudayaan, misalnya A Study of
History karya Toynbee, yang terdiri atas dua belas jilid. Tampak, bahwa
ramalan Spengler yang berkenaan dengan kereruntuhan kebudayaan Barat merupakan
salah satu sebab yang mendorong Toynbee memberikan perhatian khusus terhadap
filsafat sejarah. Tentang perbedaan antara metodenya dan metode Spengler,
Toynbee menguraikannya sebagai berikut:
“Sejumlah
besar putra pada zamanku merasa gelisah ketika Perang Dunia Pertama meletus. Mereka pun
menyadari bahwa kematian akan menimpannya. Pengalaman yang menyedihkan ini
menurutku telah mengarahkan sikapku terhadap masa depan kebudayaan Barat kita.
Akan tetapi, dari segi ilmiah, aku juga merasa bahwa lebih baik bagi
masyarakat, atau anggota masyarakat, menyadari bahwa kematian akan menimpa
mereka. Adapun mengenai hal yang berkenaan dengan kehidupan pribadi kita, kita
tidak mempunyai daya lagi. Dengan mengendalikan diri, kita menerima bahwa suatu
ketika ajal kita akan tiba. Akan tetapi, aku tidak percaya dalam hal ini aku
berbeda pendapat Spengler bahwa masyarakat dari segi ini serupa dengan individu
manusia. Manusia, seperti halnya hewan atau tumbuh-tumbuhan, setelah masa
tertentu akan mengalami kematian. Aku tidak berpendapat bahwa masyarakat juga
tertimpa kematian. Aku sepenuhnya meyakini bahwa kemampuan untuk melakukan
suatu upaya dan masa depan adalah terbuka. Menurut pengamatanku, seluruh
masyarakat manusia pada waktu berbuat kekeliruan dan kebodohan beberapa masa
kemudiannya akan mengalami kemerosotan. Akan tetapi, aku tidak berarti bahwa
satu masyarakat dari semua masyarakat itu benar-benar mengalami keadaan
demikian. Inilah perbedaan esensial antara teoriku dan teori Spengler. Jadi,
aku mempunyai sikap tertentu terhadap kebudayaan Barat, tetapi aku tidak
mempunyai sikap yang pesimistis terhadapnya”(Arnold
J. Toynbee, 1961: 235-237).
Demikianlah,
kritik Toynbee tentang kelemahan teori Spengler, meskipun ia sendiri sering
sependapat dengan Spengler dalam banyak pendahuluan, khususnya tentang metode
kajian historis mengenai kebudayaan-kebudayan. Toynbee hampir sependapat dengan
Spengler mengenai konsepsi kesatuan kajian historis dari segi bahwa ia
merupakan suatu masyarakat yang terdiri atas berbagai kelompok yang memiliki
karakteristik kultural khusus, tanpa memandang bentuk nasional tempat mereka
berafiliasi atau sistem internasional yang mereka ikuti, yaitu suatu sistem
yang pada hakikatnya didasarkan pada kodisi-kondisi dominasi Barat atas sebagai
tipe sistem politik yang berkembang pada zaman modern. Ini berarti bahwa
kesatuan historis, menurutnya, sebagaimana menurut Spengler, bukanlah umat
manusia seluruhnya atau kawasan-kawasan politik atau kesatuan-kesatuan
nasional. Ia merupakan sejumlah kelompok manusia yang kita sebut dengan
masyarakat kultural atau kesatuan kajian historis sesuai dengan karakteristik
bersamanya. Dengan demikian, Toynbee seiring dengan Spengler dalam penolakannya
terhadap metode tradisional yang terkenal dari para sejarawan terdahulu, yaitu
suatu metode yang menjadikan kebudayaan Barat sebagai kutub tetap yang menjadi
ukuran kebudayaan-kebudayaan lainnya. Akan tetapi, Toynbee berpendapat bahwa
pola-pola kebudayaan yang dikajinya jumlahnya ada delapan tidak cukup bisa
mengantarkan seseorang pada kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang benar. Oleh
karena itu, Toynbee pun berupaya mengkaji lima masyarakat yang ada masa kini, yatu masyarakat Kristen
Barat, masyarakat Kristen Timur (Byzantium), masyarakat India, masyarakat Timur
Jauh, dan masyarakat Islam. Di samping itu, ia juga mengkaji sempalan-sempalan
masyarakat yang telah mati yang tidak jelas kepribadiannya, misalnya saja kaum
Yahudi.
Menurut
Toynbee, semua masyarakat tumbuh dari masyarakat sebelumnya, yang menurutnya
terdiri atas dua puluh satu masyarakat. Dengan adanya pembagian demikian,
gugurlah kesatuan kebudayaan yang diserukan sejarawan Barat sebelum Toynbee,
yang terpengaruh oleh lingkungan sosial mereka dan keberhasilan kebudayaan
Barat secara internasional di bidang politik dan ekonomi, sehingga membuat
banyak sejarawan terbuai oleh keserupaan yang menyesatkan diantara berbagai kebudayaan
yang sebenarnya tidak sesuai dengan corak-corak kultural asli dari segi
substansi umum kebudayaan tersebut.
Keberhasilan
lahirlah itu, terutama, karena tersebar luasnya sistem-sistem politik dan
ekonomi Barat dalam banyak masyarakat, menimbulkan suatu ide yang keliru, yaitu
ide kesatuan kebudayaan manusia. Menurut ide ini, sejarah manusia mempunyai
satu sumber, yaitu Barat, sedangkan yang lain-lainnya, adalah cabangnya atau
tersesat di padang pasir. Menurut Toynbee, ide yang mendominasi pemikiran banyak
sejarawan Barta itu ditegakkan atas tiga ilusi, yaitu cinta diri yang
mendominasi orang-orang Barat, ide Timur yang mandek, dan pendapat tentang
kemajuan sebagai gerak yang membentuk suatu garis yang selalu lurus. Dari sini,
Toynbee menarik kesimpulan tentang perlu dilakukannya penilaian objektif atas
semua kebudayaan tanpa pengunggulan khusus terhadap kebudayaan Barat, seperti
saran Spengler sebelumnya, karena kebudayaan Barat bukanlah merupakan poros
kebudayaan-kebudayaan seperti menurut banyak sejarawan Barat( Moeflih Hasbullah,
2012: 149-151).
2.3. Pandangan
Filsafat Sejarah Zaman Modern Menurut Arnold J. Toynbee.
1. Bentuk Pola / Irama Gerak Sejarah
Dalam melihat dan menentukan pola /
irama gerak sejarah, Arnold J. Toynbee membandingkan perkembangan / proses
sejarah dengan kebudayaan. Menurut pandangan Toynbee, kebudayaan (civilization)
adalah wujud daripada kehidupan suatu golongan seluruhnya. Pendapat Toynbee ini
serupa seperti apa yang disebut oleh Oswald Spengler sebagai kultur dan
civilization. Menurut Toynbee, gerak sejarah melalui tingkatan-tingkatan
seperti berikut:
a) Genesis of civilization (lahirnya
kebudayaan)
Suatu kebudayaan terjadi dan muncul
karena adanya tantangan dan jawaban (challenge and response) antara manusia
dengan alam sekitar. Alam sebagai tempat tinggal manusia, tidak selamanya akan
memenuhi kebutuhan manusia. Dan manusia tidak akan selamanya terlena akan
kekayaan alam yang ada tanpa harus diolah dan dilestarikan. Alam akan
memberikan tantangan kepada manusia untuk memberikan pengalaman hidup yang akan
berkembang menjadi suatu kebudayaan. Setelah alam memberi tantangan kepada manusia, kemudian
manusia pun memberi jawaban akan tantangan alam sehingga menimbulkan suatu
kebudayaan. Dalam alam yang baik, manusia berusaha untuk mendirikan suatu
kebudayaan seperti India, Eropa, Tiongkok. Alam yang memiliki kondisi alam
seperti iklim yang sesuai dengan kondisi tubuh manusia, sehingga manusia dapat
melahirkan suatu kebudayaan yang setelah itu ditumbuhkembangkan oleh manusia
itu sendiri sebagai peradaban yang dapat memberikan nilai positif bagi alam. Akan tetapi apabila kondisi alam
yang tidak baik, manusia tidak akan bisa mendirikan suatu kebudayaan yang
nantinya menjadi sebuah peradaban. Seperti didaerah yang terlalu dingin atau
daerah yang terlalu panas tidak dapat timbul suatu kebudayaan dikarenakan
alamnya tidak bersahabat, sehingga manusia sibuk untuk mempertahankan hidup
tanpa harus memperhatikan kebudayaan apa yang dapat mereka lahirkan dan
wariskan kepada anak cucu mereka.
b) Growth of civilization (perkembangan
kebudayaan)
Dari kondisi alam yang baik sehigga
menimbulkan lahirnya kebudayaan, dalam perkembangan suatu kebudayaan, yang merupakan
kejadian yang digerakkan oleh sebagian kecil dari pihak-pihak kebudayaan itu. Pihak-pihak
kebudayaan itu adalah suatu kelompok manusia yang menjadi sebuah masyarakat.
Suatu kelompok dalam jumlah kecil (minority) itu menciptakan kebudayaan dari
jawaban yang diberikan dan tantangan alam, kemudian ditiru oleh sebagian besar
masyarakat (mayority). Suatu kebudayaan dikembangkan oleh minority yang kuat
dan dapat menciptakan suatu kebudayaan. Suatu kelompok kecil (minority) yang
kuat mengembangkan kebudayaan dengan menyebarkan kebudayaan dan
mempengaruhi masyarrakat untuk meniru kebudayaan yang telah diciptakan
minority.
c) Decline of civilization (keruntuhan
kebudayaan)
Perkembangan kebudayaan yang
ditumbuh kembangkan oleh minority yang kuat. Apabila minority sudah tidak
sanggup lagi untuk mempertahankan kebudayaan (lemah) dan kehilangan daya
ciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat lagi dijawab.
Akibatnya apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, maka akan terjadi
keruntuhan yang menyebabkan kehancuran kebudayaan seakan-akan lenyap ditelan
alam. Menurut Toynbee, keruntuhan itu terjadi dalam tiga masa gelombang, yaitu:
1) Kemerosotan kebudayaan (Breakdown of civilization),
disebabkan oleh kehilangan daya tarik minoritas untuk menciptakan kebudayaan
serta kehilangan kewibawaannya, maka mayority tidak lagi bersedia mengikuti
minoritas peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas) pecah dan
tentulah tunas-tunas hidupnya kebudayaan akan lenyap. Pada masa ini juga sering
terdapat usaha untuk menghentikan proses menuju masa atau tahap disintegration of civilization dan dissolution of civilization. Akan tetapi umumnya tidak berhasil.
2) Kehancuran
kebudayaan (Disintegration Civilization), mulai tampak
setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah
pertumbuhan terhenti maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah
suatu kebudayaan yang tidak berjiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini
sebagai petrification, pembuatan atau kebudayaan yang sudah menjadi batu,
mati dan menjadi fosil.
3) Lenyapnya kebudayaan (Dissolution of Civilization ) ialah apabila tubuh kebudayaan yang sudah
menjadi batu itu hancur lebur kemudia lenyap. (Tamburaka, 1999: 66-67).
Setelah suatu kebudayaan (lama)
mengalami dissolution, muncul kebudayaan baru di atas puing-puing
reruntuhan kebudayaan lama, setelah terlebih dahulu melewati suatu periode
penuh kekacauan ( “time of troubles” ).
Jika kita melihat pendapat Toynbee
diatas mengenai gerak sejarah dapat disimpulkan bahwa pada gerak sejarah
menurut pandangan Toynbee adalah bentuk hukum Fatum-Cyklus dalam wujud bentuk
modern. Karena pandangan dari Toynbee, tidak hanya memperhatikan gerak dari
proses sejarah saja, akan tetapi juga memperhatikan bagaimana awal kejadian dan
kebudayaan, kemudian berkembang dan akhirnya mundur dan hilang. Dan juga
meperhatikan waktu yang dibutuhkan kebudayaan untuk timbul, berkembang, dan
mundur. Ini dibuktikan dalam penelitian Toynbee misalnya tentang kebudayaan
Tiongkok-kuno yang menjelaskan, antara Break Down (merosot), disintegration
(hancur), Dissolution (lenyap) suatu kebudayaan tidak berlangsung dengan cepat
yaitu terbentang masa 2000 tahun yang masa itu disebut masa pembatuan
(petrification).
2. Arah dan Tujuan Gerak Sejarah
Setelah melihat pola gerak sejarah
yang berbentuk hukum fatum-cylus dalam wujud bentuk modern, yang pada masa
breakdown (merosot) sebelum masa disintegrasi timbul, sering terdapat suatu
usaha untuk menghentikan kehancuran. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar
yang bertindak seolah-olah sebagai Al-Masih. Akan tetapi perjuangan tersebut
tidak berhasil.
Suatu usaha yang dilakukan untuk
menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkin berhasil ialah
penggantian dari segala norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan.
Maka dengan penggantian itu tampaklah bahwa arah dan tujuan gerak sejarah
menurut pandangan Toynbee ialah kehidupan ketuhanan.
Kehidupan ketuhanan yang merupakan
arah gerak sejarah, dengan tujuan untuk meraih kesempurnaan yaitu menuju ke
kerajaan Allah (menurut paham Protestan) dengan mengetahui kehendak Allah dan
wujud daripada kehendak itu dalam sejarah agar dapat lebih mencintai Tuhan. Dan
jika kita melihat dari pandangan Ibnu Khaldun yang menentukan arah gerak
sejarah yaitu ke arah kemajuan dan kesempurnaan. Dan ketika kita hubungkan
antara pandangan Toynbee dan Ibnu Khaldun, keduanya sama-sama memiliki tujuan
untuk menuju ke arah kesempurnaan dengan apa yang menjadikan manusia lebih baik
sesuai kehendak Allah. Akibat dari penelitian Toynbee adalah tiada hukum yang
pasti dan lingkaran-lingkaran tertentu melalui mana haruslah bersatu. Dan
Toynbee berusaha menjawab pertanyaan tentang tujuan gerak sejarah yaitu filsuf
yang benar adalah seorang sejarahwan yang terpelajar dalam studi empiris dan
yang didasarkan juga atas keyakinan religius sejati (David Richardson, dalam
Tamburata, 1999: 69)
3. Penggerak Yang Menjadi Sumber Gerak
Sejarah
Dari penjelasan diatas, dari
pandangan Toynbee tentang pola gerak sejarah dan tujuannya, jelaslah bahwa
penggerak dari gerak sejarah menurut pandangan Toynbee adalah:
a. Tuhan, sebagai pencipta dari alam dan manusia
a. Tuhan, sebagai pencipta dari alam dan manusia
b. Alam, yang memberikan hubungan
dan jawaban kepada manusia
c. Manusia, yang bertindak
sebagai pencipta kebudayaan
Tuhan yang merupakan pencipta alam
dan manusia, yang manusia mengetahui kehendak dan wujud dari kehendak-Nya yang
menjadi tujuan dari manusia untuk menuju kehidupan ketuhanan. Tuhan yang
bersemayam di kerajaan-Nya yang berkehendak untuk menjadikan manusia menjadi
sempurna dan lebih baik. Hal ini sama dengan ajaran Jawa yaitu ”Manunggaling
Kaula Gusti”, yang menghendaki manusia untuk menjadi lebih baik untuk menjadi
sempurna dan kembali ke sisi Tuhan.
Alam sebagai tempat tinggal manusia
yang memberikan tantangan, kemudian manusia menjawabnya dengan menciptakan
suatu kebudayaan yang baik untuk alam. Alam tidak selalu memberi kondisi yang
baik, akan tetapi juga memberikan manusia yang tidak baik, sehingga kebudayaan
tidak akan muncul.
Manusia sebagai pencipta kebudayaan
yang merupakan penggerak utama dari gerak sejarah, karena manusialah yang
menentukan arah dan tujuan dari gerak sejarah sehingga kekuatan yang ada dalam
manusia menjadi faktor dari timbul dan tenggelamnya kebudayaan yang merupakan
wujud dari gerak sejarah. Jadi tiga penggerak ini dapat saling berhubungan
menjadi unsur dari gerak sejarah.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Teori Toynbee didasarkan atas
penyelidikan 21 kebudayaan yang sempurna dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna.kerajaan
sempurna umpamanya yaitu Junani, Romawi, Maya dan yang tidak sempurna antara
lain : Sparta, Eskimo, Polynesia, Turki.
Menurut Toynbee
gerak sejarah berjalan melalui tingkatan
seperti berikut:
- genesis of civilizations – lahirnya kebudayaan.
- growth of civilizations – perkembangan kebudayaan.
- decline of civilizations – keruntuhan kebudayaan.
Apabila
minoritas menjadi lemah dan kehilangan daya menciptakan , maka tantangan dari
alam tak dapat menjawab lagi. Minority mennyerah, mundur, dan pertumbuhan yang
tidak terdapat lagi. Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, mak keruntuhan
mulai tampak. Keruntuhan
itu terjadi dalam tiga masa yaitu:
- kekerosotan kebudayaan.
- Kehancuran kebudayaan.
- Lenyapnya kebudayaan.
Dengan demikian jelaslah bahwa garis
besar daripada teori Toynbee garis besarnya mirip dengan tafsiran Santo
Augustinus. Akhir dari gerakan sejarah pun sama juga; Citivitas Dei.
Daftar Pustaka
Tamburaka, Rustam E. (1999). Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Fillsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan
Iptek.Jakarta: PT RINEKA CIPTA
Hasbullah, Moeflih dan Dedi
Supriyadi. (2012). Filsafat Sejarah,Bandung:
PUSTAKA SETIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar